1. Shalat
Jum’at
a.
Pengertian dan Hukum
Shalat Jum'at adalah shalat wajib
dua rakaat yang dilakukan sesudah khutbah di waktu duhur pada hari Jum'at.
Hukum shalat Jum'at adalah fardhu 'ain (kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat) bagi laki-laki yang sudah dewasa, berakal sehat, merdeka dan tidak sedang musafir.
Firman Allah SWT.
Hukum shalat Jum'at adalah fardhu 'ain (kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat) bagi laki-laki yang sudah dewasa, berakal sehat, merdeka dan tidak sedang musafir.
Firman Allah SWT.
Artinya : Wahai orang-orang yang
beriman! apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum'at, maka
segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumu'ah : 9).
Shalat Jum'at tidak wajib bagi wanita, anak-anak, hamba
sahaya, orang sakit dan yang sedang dalam perjalanan.
Sabda
Rasulullah SAW :
الْجُمعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ
عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَمَا عَةِ اِلاَّاَرْبَعَةٍ عَبْدُ
مَمْلُوْكٌ اَوْمَرْأَةٌ اَوْصَبِيٌّ أَوْ مَرِ يْضٌ
Jum'at itu hak dan wajib dikerjakan oleh setiap orang Islam
dengan berjama'ah, kecuali empat macam orang/golongan, yaitu hamba sahaya,
perempuan, anak-anak dan orang sakit. (H.R. Abu Dawud)
b. Syarat Wajib Shalat
Jum'at
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Laki-laki
5. Bermukin (tidak sedang bepergian/musafir).
5. Bermukin (tidak sedang bepergian/musafir).
6. Merdeka
7. Sehat badan
8. Tidak ada halangan
Adapun mereka yang
dianggap berhalangan sebagai berikut :
§ Sakit
§ Dalam perjalanan
§ Hujan lebat (jika turun hujan lebat
yang tidak dapat diatasi, seperti banjir, dan lain-lain)
§ Kesulitan-kesulitan lain yang tidak
memungkinkan untuk shalat Jum’at, seperti takut ada perampok, binatang buas,
kebakaran, dan
sebagainya.
c.
Syarat Sah Shalat Jum’at
1. Diadakan di daerah pemukiman baik di
desa maupun di kota.
2. Dilakukan pada waktu dzuhur
3. Dikerjakan secara berjama’ah.
4. Dikerjakan sesudah khutbah
.
.
d.
Rukun Shalat Jum'at
Yang dimaksud dengan rukun shalat
adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika
salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i
dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun
shalat ada dua bentuk.
Pertama : Meninggalkannya dengan sengaja.
Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para
ulama.
Kedua : Meninggalkannya karena lupa
atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1. Jika
mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya
kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2. Jika
tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama
Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at
yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
3. Jika
yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari
awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.
Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ
“ Shalatlah dalam
keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu
lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”[1]
Rukun kedua: Takbiratul ihram
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ
وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِي مُ
“ Pembuka shalat
adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah
ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam.
”[2]
Yang dimaksud dengan rukun shalat
adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa
digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.
Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“ Tidak ada
shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”[3]
Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia disuruh
mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
رَاكِعً ا
“
Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah
membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana
setiap persendian juga ikut tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun
disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,
لاَ تَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ
حَتَّى يُسْبِغَ … ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْكَعُ فَيَضَعُ كَفَّيْهِ عَلَى
رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ
وَتَسْتَرْخِىَ
“ Shalat tidaklah sempurna
sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, … kemudian
bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut
sampai persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]
Ada pula ulama
yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib
dalam ruku’.
Rukun keenam dan ketujuh:
I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ
قَائِمً ا
“Kemudian tegakkanlah badan
(i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]
Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek
shalatnya,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا ا
“Kemudian sujudlah dan
thuma’ninalah ketika sujud.”[7]
Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh
bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4] Lutut kanan
dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan
hidung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى
سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَأَشَارَ وَالْيَدَيْنِ ،
وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“ Aku diperintahkan
bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung,
beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri,
[4,5] lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”
Rukun kesepuluh dan
kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian sujudlah dan
thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah ketika
duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]
Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِى
الصَّلاَةِ فَلْيَقُلِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ …
“ Jika salah seorang antara
kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.”[9]
Bacaan tasyahud:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ
وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ
الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“ At tahiyaatu lillah wash
sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa
barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa
ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala
ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga
kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan
segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba
Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya) [10]
Apakah bacaan tasyahud “assalamu
‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa
di Saudi Arabia) pernah ditanya,
“ Dalam tasyahud apakah
seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau
bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan
bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat,
mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat,
para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.
Jawab:
Yang lebih tepat, seseorang ketika
tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa
rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal
dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang
mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika
memang itu benar riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad
Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada.
Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.
( Yang menandatangani fatwa ini
adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin Ghodyan
sebagai anggota)[11]
Rukun keempatbelas:
Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[12]
Dalilnya adalah hadits Fudholah bin
‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan
bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
mengatakan, “Begitu cepatnya ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendo’akan orang tadi, lalu berkata padanya dan lainnya,
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد الله
والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء
“Jika salah seorang di antara
kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu
bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah
itu semau kalian.”[13]
Bacaan
shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ
حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“ Allahumma sholli ‘ala
Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali
Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali
Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun
majiid.”[14]
Rukun kelimabelas : Salam
Dalilnya
hadits yang telah disebutkan di muka,
مِفْتَاحُ
الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“ Yang mengharamkan dari hal-hal
di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali
adalah ucapan salam. ”[15]
Yang termasuk dalam rukun di sini
adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan
mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:
1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum
wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum
wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
3. Salam ke kanan “Assalamu
‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.
4.
Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]
Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada
Alasannya karena dalam hadits orang
yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“ dalam setiap rukun. Dan “tsumma”
bermakna urutan.[17]
e.
Rukun Jum’at
Rukun
jum’at adalah suatu gerakan atau bacaan yang harus dilaksanakan, sehingga
bila ditinggalkan maka shalat jum'atnya tidak sah. adapun yang termasuk rukun
jum'at adalah:
1). Khatib, lazimnya sekaligus menjadi imam
2). Jama'ah Jum'at
3). Khutbah dua kali serta duduk di antara keduanya.
4). Shalat Jum'at dua rakaat dengan berjamaah.
1). Khatib, lazimnya sekaligus menjadi imam
2). Jama'ah Jum'at
3). Khutbah dua kali serta duduk di antara keduanya.
4). Shalat Jum'at dua rakaat dengan berjamaah.
f. Syarat Khutbah Jum’at
1) Khutbah dilaksanakan pada waktu
dzuhur.
2) Khutbah dilaksanakan dengan berdiri bila mampu.
3) Khatib harus duduk sebentar di antara dua khutbah.
4) Khatib suci dari hadats dan najis.
5) Khatib harus menutup aurat.
6) Suara khatib dapat didengar oleh jama’ah.
7) Tertib
2) Khutbah dilaksanakan dengan berdiri bila mampu.
3) Khatib harus duduk sebentar di antara dua khutbah.
4) Khatib suci dari hadats dan najis.
5) Khatib harus menutup aurat.
6) Suara khatib dapat didengar oleh jama’ah.
7) Tertib
g. Rukun Khutbah Jum’at
1)
Mengucapka pujian kepada Allah SWT.
2) Mengucapkan kalimat syahadatain.
3) Membaca shlawat atas Nabi.
4) Berwasiat atau memberi nasihat untuk bertaqwa kepada Allah SWT.
5) Membaca ayat suci Al-Qur’an pada salah satu dua khutbah.
6) Berdoa pada khutbah kedua untuk untuk kaum muslimin dan muslimat.
2) Mengucapkan kalimat syahadatain.
3) Membaca shlawat atas Nabi.
4) Berwasiat atau memberi nasihat untuk bertaqwa kepada Allah SWT.
5) Membaca ayat suci Al-Qur’an pada salah satu dua khutbah.
6) Berdoa pada khutbah kedua untuk untuk kaum muslimin dan muslimat.
h. Sunnat Jum’at
1) Dilakukan di atas mimbar
2) Memberi salam pada khutbah pertama.
3) Menggunakan bahasa yang mudah
dipahami
4) Khutbah tidak terlalu panjang atau
terlalu pendek
5) Khatib menghadap jama’ah
i. Sunnat Sebelum Shalat
Jum’at
1) Mandi,
2) Memotong kuku,
3) Berpakaian rapi dan bersih.
4) Segera menuju masjid.
5) Memakai wangi-wangian
6) Berdo'a ketika menuju atau masuk masjid
0 komentar:
Posting Komentar